“Kak, terapi dong ….” rengek Salsa dan Rania, murid TK A kami. Mereka tidak hanya menagih bila kami berpapasan, tapi juga datang ke meja saya untuk “mendaftar”.
Terapi menjadi obsesi bagi mereka, karena “Enak, bisa lompat-lompat.” Ya, di ruang terapi kami ada trampolin. Belum lagi benda-benda lain yang mengisyaratkan bahwa pemakainya akan bergerak aktif: papan titian, terowongan dan peralatan baseball.
Kegiatan terapi ini kami sebut dengan Kelas Sensori. Dari berbagai literatur kami mendapatkan bahwa usia balita adalah periode kepekaan sensori. Pada saat itu anak memiliki kemampuan besar untuk menyerap informasi dari keseluruhan sensori yang dimilikinya, baik penglihatan, penciuman, pengecapan, pendengaran, perabaan maupun gerak dan persendian. Sayangnya, adakalanya kemampuan itu tidak berkembang seperti seharusnya, entah karena masalah neurologis atau karena stimulasi dari lingkungan. Continue reading