(Tulisan ini saya kutip seijin Ibu Henny Wirawan, psikolog, dari facebook beliau)
Untuk yang kesekian kalinya saya mendengar (tepatnya sih membaca) keluhan seperti ini, “kenapa sih mama saya selalu membuat kesan kalau saya yang salah? Beliau yang menjatuhkan kemudian memecahkan tumbler yang saya tabung dengan uang sendiri, dan barang limited edition juga, malah saya yang disalahkan. (…) Bukannya meminta maaf, malah saya yang dicaci maki oleh beliau. Ketika saya kesal dan masuk ke kamar, malah diancam, ‘Di kamar saja terus seharian. Jangan pernah keluar lagi!’ Ponakan saya saja bisa meminta maaf jika merusak atau menyakiti saya.”
Pertanyaan lain yang dibacanya juga mendatangkan rasa sesak di dada kurang lebih seperti ini, “Bu, kenapa mama aku selalu punya hati untuk menghancurkan saya? Saya itu jahat apa sih ke dia? Saya itu justru mau tolongin dia, tapi kenapa sampe bahasa yang orang bodoh pun mengerti, dia tetap tolak?”
Keluhan lain yang tidak kalah menghancurkan hati kurang lebih seperti ini, “Aku merasa sudah melakukan yang terbaik versi diriku sendiri tapi keluargaku di rumah seperti tidak pernah puas dan selalu membandingkan. Padahal aku melakukan itu semua, selain karena memang aku suka melakukannya, juga karena demi membuktikan kalo aku bisa. Tapi aku ngerasanya kaya bego amat. Tiap hari selalu dibilang salah. Ada aja yang salah dari diriku untuk diomelin. Sampe mikir, sebnernya aku ini anak yg membanggakan apa memalukan sampe tiap hari kok salah terus?” Continue reading