Anak Spesial

By Endah Ws Hudaya

Putra Pak Dedi Ekadibrata, Pemimpin Redaksi Majalah Anak Spesial, harus pindah dari sekolahnya karena anak ituĀ  … anak spesial. Desakan orang tua cukup keras, bahkan sampai meminta apakah pihak sekolah akan memilih putra Pak Dedi atau putra-putri mereka. Sekolah memberi pilihan kepada Pak Dedi, apakah pindah atau tetap di sana, dengan kompensasi biaya. Pak Dedi memilih memindahkan putranya yang waktu itu duduk di kelas IV SD ke suatu sekolah khusus. Kini putranya sudah dapat duduk di SMP negeri karena telah dianggap telah dapat meregulasi diri.

Kisah itu diceritakan Pak Dedi saat berkunjung ke sekolah kami.

Saya merenungkan, seandainya itu terjadi di sekolah kami: para orang tua membuat petisi agar kami membuat piilihan dalam kasus seperti itu.

Hmm … ini bukan soal pilihan, tapi hati nurani.

Tanpa keikhlasan yang besar kita tidak bisa membuat pilihan yang benar.

Itu saya rasakan ketika dalam sehari menghadapi tiga anak tantrum. Menghadapi teriakan, serta merasakan tendangan dan cakaran …. Emosi kita harus tetap datar, dan harus melindunginya dari bahaya di sekelilingnya, juga melindungi anak lain.

Tanpa bekal kemampuan teknik dan kemampuan melakukan pengamatan plus ketegaran, mungkin kita akan menyerah pada keadaan.

Guru-guru di sekolah itu mungkin telah lelah, jadi ketika diberi pilihan, ya mereka membuat pilihan yang mudah. ApalagiĀ  sekolah itu adalah sekolah dengan biaya enam digit, yang tentunya ketergantungan pada stakeholders menjadi semakin tinggi. Sungguhkah hidup mereka jadi lebih mudah? Continue reading